Jakarta, Jamkesnews – Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sudah memasuki tahun ke-7. Sebagai badan hukum publik yang fokus terhadap implementasi good governance, BPJS Kesehatan senantiasa menyelenggarakan program JKN-KIS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas. BPJS Kesehatan juga dituntut taat pada peraturan yang telah ditetapkan termasuk penerapan implementasi Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya terkait implementasi penyesuaian iuran Program JKN-KIS di tahun 2020.
“Pemberlakuan penyesuaian iuran harus kami lakukan, jika tidak kami melanggar tata kelola dan regulasi pengelolaan Program JKN-KIS, kami harus tunduk pada regulasi dan tidak bisa bertindak melampaui kewenangan,” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Maruf dalam Ngopi Bareng JKN Rabu (15/01).
Iqbal juga menambahkan, sesuai dengan hasil Rapat Tingkat Menteri (RTM) pada 06 Januari 2020 Pemerintah dalam hal ini Kementerian/Lembaga terkait sepakat untuk melaksanakan Perpres 75/Tahun 2019 seperti apa adanya. Perlu dipahami bahwa keputusan penyesuaian iuran peserta BPJS Kesehatan telah melewati proses pembahasan dan perhitungan yang matang melalui hasil rapat bersama pihak-pihak terkait, termasuk mempertimbangkan kemungkinan penurunan kelas kepesertaan PBPU.
Pemerintah juga sudah mempersiapkan sejumlah skema guna mengantisipasi pelaksanaan atas keputusan Perpres No. 75/2019. Diantaranya ialah menyangkut pengalihan kepesertaan PBPU kelas III menjadi peserta PBI.
Iqbal juga menambahkan untuk memberikan keleluasaan membayar iuran secara rutin bagi peserta JKN-KIS, BPJS Kesehatan membuat kebijakan kemudahan perubahan kelas ke kelas yang lebih sesuai dengan kemampuannya. BPJS Kesehatan memiliki program BPJS PRAKTIS (Perubahan Kelas Tidak Sulit). Sedangkan bagi peserta PBPU yang merasa tidak mampu bisa mendaftar ke peserta PBI yang iurannya ditanggung pemerintah sepenuhnya dengan cara mendaftar di Dinas Sosial sesuai dengan prosedur yang kini berjalan.
“Perlu juga disampaikan kembali, bahwa terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 merupakan bentuk upaya Pemerintah dalam menjaga keberlangsungan Program JKN-KIS, agar manfaatnya terus dirasakan oleh masyarakat,” kata Iqbal.
Sementara itu, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengungkapkan rekomendasi RDP bukanlah variabel independen melainkan variable dependen atau variabel yang dipengaruhi yaitu baru bisa dilaksanakan jika variabel independennya (variabel yang mempengaruhi) yaitu "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” terpenuhi.
"Jika ternyata sesuai dengan telaah ketentuan peraturan perundang-undangan tidak memungkinkan untuk dilakukan maka rekomendasi RDP Komisi IX secara otomatis gugur dengan sendirinya. Hal ini sesuai juga dengan prinsip demokrasi berdasarkan nomokrasi. Keputusan politik (demokrasi) harus berbasiskan dan berlandaskan kepada hukum yang berlaku (nomokrasi). Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945," jelas Bayu.
Sama hal nya dengan Bayu, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada Oce Madril, menyampaikan jika rekomendasi tersebut dilaksanakan bisa menimbulkan risiko hukum bagi pengelola Program JKN-KIS. Saat ini Program ini tidak memiliki pilihan alternatif pembiayaan selain yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU BPJS: Kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian dapat berupa tingkat inflasi yang tinggi, keadaan pascabencana yang mengakibatkan penggunaan sebagian besar sumber daya ekonomi negara, dan lain sebagainya. Tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program Jaminan Sosial antara lain berupa penyesuaian Manfaat, Iuran, dan/atau usia pensiun, sebagai upaya terakhir.
"Jadi ini bukan pilihan kebijakan di luar Undang Undang, karena dalam perundangan terkait pelaksanaan JKN sudah mengatur alternatif kebijakan yaitu penyesuaian manfaat, suntikan dana atau penyesuaian iuran. Sudah ada relnya. Aset Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan juga merupakan dana amanat yang sumbernya dari publik, yang aturannya dijaga ketat oleh perundangan, pemanfaatannya sudah diatur untuk apa saja. Jadi tidak dapat digunakan untuk hal lain, misalnya untuk membantu membayar iuran peserta kelas 3 segmen PBPU/mandiri seperti yang direkomendasikan,” kata Oce Madril.
Oce menambahkan jika mengimplementasikan rekomendasi tersebut, Direksi BPJS Kesehatan bisa terdampak hukum khususnya melanggar pasal 52 UU BPJS, telah diatur ketentuan bagi Dewas dan Direksi terkait dengan larangan “Menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Aset DJS dengan ancaman pidana paling lama 8 Tahun dan denda 1 Milyar Rupiah”.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari turut mengamini hal tersebut. Menurutnya, salah satu tugas DPR adalah mengawasi Pemerintah untuk menjalan peraturan perundangan yang berlaku.
"Pemerintah juga harus memberikan telaah hukum pada rekomendasi DPR, sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik. Jika memang tidak bisa dilakukan dan menimbulkan risiko hukum yang besar harus disampaikan dengan jelas,” kata Feri.
Sementara itu, pengamat Asuransi Sosial Chazali Situmorang mengungkapkan langkah Pemerintah menyesuaikan iuran khususnya peserta segmen peserta PBPU kelas 3 merupakan langkah yang tepat karena iuran sudah tidak sesuai dengan nilai keekonomian sejak lama. Bagi peserta yang tidak mampu bisa mendaftarkan diri sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Saya yakin penyesuaian iuran ini akan berdampak pada kondisi keseimbangan yang baru. Jika DPR bersikeras baiknya disampaikan ke Ketua DPR agar dapat disampaikan ke Presiden. Sehingga menemukan jalan tengah, namun saya harap nilai iuran tidak kembali ke angka awal, jangan kita mundur seperti ke jaman jahilyah sudah bertahun-tahun iuran tidak sesuai,” kata Chazali. []